Rabu, 01 Juni 2011

Manajemen Berbasis Sekolah dan Motivasi Faktor Dominan Dalam Peningkatan Mutu Lulusan

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH DAN MOTIVASI FAKTOR DOMINAN DALAM MENINGKATKAN KUALITAS LULUSAN

Oleh

Hendrawan Iskandar,S.Pd.,M.Si.

A. Pengantar
Pengelolaan yang sentralistik dalam sistem pendidikan dasar dan menengah selama ini kurang memberdayakan peranan sekolah dan masyarakat dalam mendukung pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Sampai saat ini pula, belum terdapat lembaga yang digunakan sebagai media akuntabilitas pendidikan yang dapat membantu realisasi school based management.
Era reformasi telah membawa perubahan-perubahan mendasar dalam berbagai kehidupan termasuk kehidupan pendidikan. Salah satu perubahan mendasar yang sedang digulirkan saat ini adalah manajemen negara, yaitu dari manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis daerah. Secara resmi, perubahan manajemen ini telah diwujudkan dalam bentuk "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah" yang kemudian diikuti pedoman pelaksanaannya berupa "Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi. Konsekwensi logis dari Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut adalah bahwa manajemen pendidikan harus disesuaikan dengan jiwa dan semangat otonomi. Karena itu, manajemen pendidikan berbasis pusat yang selama ini telah dipraktekkan perlu diubah menjadi manajemen pendidikan berbasis sekolah.
Selain alasan normatif, secara empirik manajemen berbasis sekolah memang perlu diterapkan karena di lapangan menunjukkan kenyataan-kenyataan sebagai berikut.
1. Manajemen berbasis pusat yang selama ini telah dipraktekkan memiliki banyak kelemahan, antara lain: keputusan pusat sering kurang sesuai dengan kebutuhan sekolah; administrasi berlebihan yang dikarenakan lapis-lapis birokrasi yang terlalu banyak telah menyebabkan kelambanan dalam menangani setiap permasalahan, sehingga menyebabkan kurang optimalnya kinerja sekolah; dalam kenyataan, administrasi telah mengendalikan kreasi; proses pendidikan dijalankan dengan undermanaged sehingga menghasilkan tingkat efektivitas dan efisiensi yang rendah; pendekatan sarwa-negara (state-driven) telah menempatkan sekolah pada posisi yang marginal, sehingga sekolah tidak berdaya, tidak memiliki keberanian moral (prakarsa) untuk berinisiatif; sekolah tidak mandiri; terjadi penyumbatan dan bahkan pemasungan demokrasi; sekolah tidak peka dan jeli dalam menangkap dan mengungkap permasalahan, kebutuhan, dan aspirasi pendidikan dari masyarakat; dan manajemen berbasis pusat tidak saja menumpulkan daya kreativitas sekolah, tetapi juga mengikis habis rasa kepemilikan warga sekolah terhadap sekolahnya.
2. Sekolah paling memahami permasalahan disekolahnya. Karena itu, sekolah merupakan unit utama yang harus memecahkan permasalahannya melalui sejumlah keputusan yang dibuat "sedekat" mungkin dengan kebutuhan sekolah. Untuk itu, sekolah harus memiliki kewenangan (otonomi), tidak saja dalam pengambilan keputusan, akan tetapi justru dalam mengatur dan mengurus kepentingan sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan payung kebijakan makro pendidikan nasional.
3. Perubahan di sekolah akan terjadi jika semua warga sekolah ada "rasa memiliki" dan "rasa memiliki" berasal dari kesempatan berpartisipasi dalam merumuskan perubahan dan keluwesan untuk mengadaptasikannya terhadap kebutuhan individu sekolah. Rasa memiliki ini pada gilirannya akan meningkatkan pula rasa tanggungjawab. Jadi, makin besar tingkat partisipasi warga sekolah dalam pengambilan keputusan, makin besar rasa memiliki terhadap sekolah, dan makin besar pula rasa tanggungjawabnya. Yang demikian ini berarti bahwa "perubahan" lebih disebabkan oleh dorongan internal sekolah dari pada tekanan dari luar sekolah.
4. Telah lama pengaturan yang bersifat birokratik lebih dominan dari pada tanggungjawab profesional, sehingga kreativitas sekolah pada umumnya dan guru pada khususnya terpasung dan bahkan terbunuh. Tidak jarang pula dijumpai bahwa formalitas sering jauh melampaui hakiki. Yang lebih parah lagi guru-guru kehilangan "jiwa kependidikannya". Mendidik tidak lebih dari sekadar pengenalan nilai-nilai, yang hasilnya hanya berupa pengetahuan nilai (logos) dan belum sampai pada penghayatan nilai (etos), apalagi sampai pengamalannya. Akibatnya, menurut Aburizal Bakrie (1999), proses belajar mengajar di sekolah lebih mementingkan jawaban baku yang dianggap benar oleh guru, dibanding daya kreasi, nalar, dan eksperimentasi peserta didik untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru. Tidak ada keterbukaan dan demokrasi. Tidak ada toleransi pada kekeliruan akibat kreativitas berpikir, karena yang benar adalah apa yang dipersepsikan benar oleh guru, sehingga yang terjadi hanyalah memorisasi dan "recall" dan tidak dihargainya kreativitas dan kemampuan peserta didik. Padahal, pembelajaran yang sebenarnya semestinya lebih mementingkan pada proses "pencarian jawaban" dibanding "memiliki jawaban".
Sementara itu, salah satu alternatif bentuk desentralisasi pendidikan adalah konsep school based management atau Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Melalui konsep ini, terdapat tuntutan untuk memberikan kewenangan yang lebih luas kepada sekolah untuk mengelola dan memberdayakan semua sumber pendidikan yang ada di lingkungan sekolah dan masyarakatnya.
MBS merupakan suatu konsep pengelolaan yang berawal dari kemampuan, inisiatif, dan kreativitas sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan di sekolahnya, yang tidak tergantung pada petunjuk dari 'atas'. Semua kegiatan pengambilan keputusan, perencanaan, dan kebijakan penyelenggaraan pendidikan sepenuhnya berasal dari inisiatif sekolah itu sendiri, bukan dari lapis birokrasi di atasnya. Aturan-aturan yang membatasi kewenangan sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan, akan merupakan bagian integral dari gagasan-gagasan dan kreativitas sekolah, karena sekolah memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugasnya secara mandiri.
Melalui konsep ini, kemandirian sekolah diwujudkan melalui upaya-upaya maksimal para guru, kepala sekolah, dan partisipasi masyarakat (stake holders) yang merasa ikut bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan. Partisipasi masyarakat ini dapat dilembagakan dalam bentuk Majelis Sekolah (school board). Majelis sekolah merupakan lembaga yang dapat berfungsi sebagai akuntabilitas pendidikan untuk: perencanaan, pengambilan keputusan, dan implementasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Unsur-unsur masyarakat yang menjadi anggota Majelis Sekolah berasal dari mereka yang memiliki kaitan tanggung jawab dalam meningkatkan mutu sekolah, antara lain: Guru, Kepala Sekolah, Siswa, Orang Tua, Lurah/Kepala Desa, Camat, dan unsur-unsur masyarakat lainnya.
Implikasi kebijakan pelaksanaan MBS menuntut adanya: (1) Perumusan kebijakan desentralisasi pendidikan; (2) Panduan operasional manajemen berbasis sekolah; (3) Pedoman pembentukan dan penyelenggaraan kegiatan majelis sekolah (school board); (4) Sosialisasi MBS; (5) Aturan-aturan penyelenggaraan pendidikan yang secara luwes memberikan peluang agar MBS dapat berkembang dengan cepat; dan (6) Adanya pelatihan yang dapat mendorong tumbuhnya inisiatif dan kreativitas Kepala Sekolah dan Guru dalam pelaksanaan MBS.


B. Penegertian Manajemen Berbasis Sekolah
Istilah manajemen berbasis sekolah berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Catatan: sumber daya terbagi menjadi sumber daya manusia dan sumber daya selebihnya (peralatan, perlengkapan, bahan/material, dan uang); input manajemen terdiri dari tugas, rencana, program, limitasi yang terwujud dalam bentuk ketentuan-ketentuan, pengendalian (tindakan turun tangan), dan kesan dari anak buah ke bapak/ibu buah).
Berbasis berarti "berdasarkan pada" atau "berfokuskan pada". Sekolah adalah suatu organisasi terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang bertugas memberikan "bekal kemampuan dasar" kepada peserta didik atas dasar ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik (makro, meso, mikro) dan profesionalistik (kualifikasi, untuk sumber daya manusia; spesifikasi untuk barang/jasa, dan prosedur-prosedur kerja).
Dari uraian tersebut dapat dirangkum bahwa "manajemen berbasis sekolah" adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara otonomis (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan (partisipatif)". Catatan: kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah meliputi: kepala sekolah dan wakil-wakilnya, guru, siswa, konselor, tenaga administratif, orangtua siswa, tokoh masyarakat, para profesional, wakil pemerintahan, wakil organisasi pendidikan. Lebih ringkas lagi, manajemen berbasis sekolah dapat dirumuskan sebagai berikut (David, 1989): manajemen berbasis sekolah = otonomi manajemen sekolah + pengambilan keputusan partisipatif.
Dengan pengertian di atas, maka pengembangan manajemen berbasis sekolah semestinya mengakar di sekolah, terfokus di sekolah, terjadi disekolah, dan dilakukan oleh sekolah. Untuk itu, manajemen berbasis sekolah memerlukan konsolidasi manajemen sekolah.


C. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen berbasis sekolah bertujuan untuk "memberdayakan" sekolah, terutama sumber daya manusianya (kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, orang tua siswa, dan masyarakat sekitarnya), melalui pemberian kewenangan, fleksibilitas, dan sumber daya lain untuk memecahkan persoalan yang dihadapi oleh sekolah yang bersangkutan.
Ciri-ciri sekolah yang "berdaya" pada umumnya: tingkat kemandirian tinggi/tingkat ketergantungan rendah; bersifat adaptif dan antisipatif/proaktif sekaligus; memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko, dsb.); bertanggungjawab terhadap hasil sekolah; memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber dayanya; kontrol terhadap kondisi kerja; komitmen yang tinggi pada dirinya; dan dinilai oleh pencapaian prestasinya. Selanjutnya, bagi sumber daya manusia sekolah yang berdaya, pada umumnya, memiliki ciri-ciri: pekerjaan adalah miliknya, dia bertanggung jawab, dia memiliki suara bagaimana sesuatu dikerjakan, pekerjaannya memiliki kontribusi, dia tahu posisinya dimana, dia memiliki kontrol terhadap pekerjaannya, dan pekerjaannya merupakan bagian hidupnya.
Contoh-contoh tentang hal-hal yang dapat memberdayakan warga sekolah adalah: pemberian tanggung jawab, pekerjaan yang bermakna, memecahkan masalah pekerjaan secara "teamwork", variasi tugas, hasil kerja yang terukur, kemampuan untuk mengukur kinerjanya sendiri, tantangan, kepercayaan, didengar, ada pujian, menghargai ide-ide, mengetahui bahwa dia adalah bagian penting dari sekolah, kontrol yang luwes, dukungan, komunikasi yang efektif, umpan balik bagus, sumber daya yang dibutuhkan ada, dan warga sekolah diberlakukan sebagai manusia ciptaan-Nya yang memiliki martabat tertinggi (Slamet PH, 2000; Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2000).


D. Pergeseran Pendekatan Manajemen Pendidikan
Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah) dan bukti-bukti empirik tentang kurang efektif dan efisiensinya manajemen berbasis pusat, maka Departemen Pendidikan Nasional melakukan penyesuaian-penyesuaian, salah satunya adalah melakukan pergeseran pendekatan manajemen, yaitu dari pendekatan manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah, seperti dilukiskan pada Gambar berikut :


Gambar 1
Pergeseran Pendekatan Manajemen Pendidikan: Dari Berbasis Pusat Menuju Berbasis Sekolah

Manajemen Berbasis Pusat Menuju Manajemen Berbasis Sekolah
Sub-ordinasi  Otonomi
Pengambilan keputusan  Pengambilan keputusan
Terpusat  Partisipatif
Ruang gerak kaku  Ruang Gerak Luwes
Pendekatan birokratik  Pendekatan Profesionalisme
Sentralistik  Desentralistik
Diatur  Motivasi diri
Overregulasi  Deregulasi
Mengontrol  Mempengaruhi
Mengarahkan  Memfasilitasi
Menghindari resiko  Mengolah resiko
Gunakan uang semuanya  Gunakan seefisien mungkin
Individual cerdas  Teamwork kompak & cerdas
Informasi terpribadi  Informasi terbagi
Pendelegasian  Pemberdayaan
Organisasi herarkis  Organisasi datar

Berikut disampaikan penjelasan seperlunya terhadap pergeseran pendekatan manajemen berbasis pusat menuju manajemen berbasis sekolah.

(1) Dari Sub-Ordinasi Menuju Otonomi
Pada manajemen berbasis pusat, sekolah merupakan sub-ordinasi dari pusat, sehingga sifat ketergantungannya sangat tinggi. Sekolah tidak berdaya dan tidak memiliki kemandirian, sehingga kreativitas dan prakarsanya terpasung dan beku. Pada manajemen berbasis sekolah, sekolah memiliki otonomi (kemandirian) untuk berbuat yang terbaik bagi sekolahnya. Ketergantungan pada tingkat pusat makin kecil, sehingga sekolah harus dewasa dan meyakini bahwa perubahan pendidikan tidak akan terjadi jika sekolahnya sendiri tidak berubah. Tentu saja kemandirian ini menuntut kemampuan sekolah untuk mengatur dan mengurus sekolahnya menurut prakarsanya sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dari Pengambilan Keputusan Terpusat Menuju Pengambilan Keputusan Partisipatif
Berbeda dengan pengambilan keputusan pada manajemen berbasis pusat yang ditandai oleh one man show, lamban hasilnya, dan sering tidak pas hasilnya dengan kebutuhan sekolah, maka pengambilan keputusan pada manajemen berbasis sekolah melibatkan warga sekolah, yang selain cepat hasilnya, juga sesuai hasilnya dengan kebutuhan sekolah. Pelibatan partisipan dalam pengambilan keputusan tentu saja disesuaikan dengan relevansi, keahlian, yuriiksi, dan kompatibilitas keputusan dengan kepentingan partisipan.
(3) Dari Ruang Gerak Kaku Menuju Ruang Gerak Luwes
Akibat banyaknya tugas dan fungsi, wewenang, tanggungjawab, kewajiban dan hak sekolah yang ditangani oleh Pusat, Wilayah, dan Kandep, maka ruang gerak sekolah kaku untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi maupun untuk memenuhi kebutuhannya. Pada pendekatan manajemen yang baru, ruang gerak sekolah sangat luwes karena apa yang selama ini dilakukan oleh Pusat, Wilayah, dan Kandep, sebagian besar kini diserahkan ke sekolah.
(4) Dari Pendekatan Birokrasi Menuju Pendekatan Profesionalisme
Pada pendekatan birokrasi, apa yang dilakukan oleh sekolah didasarkan atas apa yang dianggap benar dan baik oleh pimpinannya. Pada pendekatan profesionalisme, apa yang dilakukan oleh sekolah didasarkan atas profesionalisme. Karena itu, peranan keahlian sangat penting dalam membimbing tingkah laku warga sekolah, bukan kekuasaan.
(5) Dari Manajemen Sentralistik Menuju Manajemen Desentralistik
Pada model lama, pusat memiliki kewenangan yang berlebihan, sehingga terjadilah pemusatan kekuasaan di pusat. Pemusatan kekuasaan ini telah menimbulkan dampak negatif pada sekolah, yaitu selain sekolah tidak berdaya, banyak keputusan-keputusan yang tidak efektif dan efisien. Karena kecil kewenangan yang dimiliki oleh sekolah, maka tidak jarang sekolah acuh tak acuh terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Sedang pada manajemen desentralistik, banyak kewenangan Pusat, Wilayah, dan Kandep yang diserahkan ke sekolah. Dengan pendekatan ini, maka sekolah akan lebih berdaya dan keputusan-keputusan yang dibuatnya akan lebih efektif dan efisien.
(6) Dari Kebiasaan Diatur Menuju Kebiasaan Motivasi Diri
Pola perilaku lama yang sering menunggu perintah dan kebiasaan diatur (dorongan eksternal) akan berubah menjadi pola perilaku baru yang bercirikan motivasi diri (dorongan internal). Perubahan ini tentu saja akibat dari otonomi (kemandirian) sekolah yang diberikan oleh Pusat, Wilayah, dan Kandep. Struktur organisasi yang berjiwa otonomi akan mendorong sekolah untuk berinovasi dan berimprovisasi dari dalam diri sekolah, bukan dari tekanan luar.
(7) Dari Overregulasi Menuju Deregulasi
Terlalu banyaknya regulasi pendidikan (overregulasi) termasuk juklak dan juknis telah membuat sekolah seperti robot yang hanya menunggu perintah, tumpul, telah membunuh kreativitas sekolah, terutama gurunya. Deregulasi pendidikan akan mampu menumbuhkan daya kreativitas dan prakarsa sekolah, dan membuat sekolah sebagai pusat perubahan. Deregulasi juga mampu memberikan kelenturan sekolah dalam mengelola sekolahnya.
(8) Dari Mengontrol Menuju Mempengaruhi
Jika manajemen pola lama lebih cenderung menekankan pada "mengkomando" dan "mengontrol" , maka manajemen berbasis sekolah lebih menekankan pada "mempengaruhi". "Mengontrol" lebih cenderung pada output, sehingga jika terjadi kesalahan, menjadi terlanjur. Sedang "mempengaruhi" lebih cenderung menekankan pada input dan poses, sehingga terhindar dari kemungkinan terlanjur salah.
(9) Dari Mengarahkan Menuju Memfasilitasi
Pada manajemen berbasis pusat lebih menekankan pada pemberian "pengarahan", yang sering diwujudkan dengan kata-kata "kita harus kesana", "kita harus mengerjakan itu", dengan maksud agar pekerjaan cepat selesai. Sedang pada manajemen berbasis sekolah lebih menekankan pada pemberian "fasilitasi", misalnya: "bagaimana menurut pendapat anda untuk mengerjakan ini?"
(10) Dari Menghindari Resiko Menuju Mengolah Resiko
Jika pada pola manajemen tradisional lebih menekankan untuk "menghindari resiko", maka pada pola manajemen baru lebih menganjurkan "mengambil resiko". Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa orang-orang yang berani mengambil resiko cenderung lebih maju dari pada orang yang suka menghindari resiko.
(11) Dari Menggunakan Uang Semuanya Menuju Menggunakan Uang Seefisien Mungkin
Pola anggaran lama yang menekankan pada "uang harus dihabiskan semua", akan bergeser menjadi "gunakan uang secukupnya", akan meningkatkan efisiensi sekolah. Tentu saja hal ini akan menuntur "restrukturisasi" anggaran pola lama.
(12) Dari Individu yang Cerdas Menuju "Teamwork" yang Kompak dan Cerdas
Tidak jarang sekolah memiliki individu-individu yang cerdas. Pada manajemen berbasis sekolah, individu-individu yang cerdas ini harus diajak memperhatikan kinerja sekolah secara keseluruhan, dan disadarkan bahwa hanya melalui "teamwork" yang kompak dan cerdaslah yang akan mampu meningkatkan kinerja sekolah.
(13) Dari Informasi Terpribadi Menuju Informasi Terbagi
Informasi sering hanya dimiliki oleh sejumlah warga sekolah, khususnya kepala sekolah, wakil-wakilnya, dan beberapa guru. Informasi ini umumnya juga tidak disebarluaskan kesemua warga sekolah (terpribadi). Di masa mendatang, informasi harus tersebar/terbagi secara merata keseluruh warga sekolah. Tentu saja yang dimaksud di sini bukan setiap ada informasi baru harus disampaikan kesemua warga sekolah, namun informasi diberikan kepada mereka yang memang berhak menerimanya.
(14) Dari Pendelegasian Menuju Pemberdayaan
Manajemen pendidikan kita sampai saat ini masih diwarnai oleh praktek-praktek pendelegasian tugas dan fungsi serta tanggungjawab semata, tanpa diikuti penyerahan kewenangan, sehingga sekolah tidak berdaya. Mulai sekarang, Pusat, Wilayah, dan Kandep harus memberdayakan sekolah, yaitu melalui penyerahan tugas dan fungsi, tanggungjawab, hak dan kewajiban, yang disertai kewenangan untuk mengambil keputusan. Karena, hanya sekolahlah yang merupakan "pusat perubahan" yang sebenarnya, terutama sumberdaya manusianya. Sebagus apapun kebijakan dari Pusat, Wilayah, dan Kandep, namun jika sekolah tidak berubah, maka tidak akan pernah ada perubahan.
(15) Dari Organisasi Hirarkis Menuju Organisasi Datar
Sampai saat ini organisasi pendidikan khususnya organisasi sekolah masih diatur dengan lapis-lapis manajemen yang rumit, sehingga sekolah lamban adaptasi dan antisipasinya terhadap perubahan-perubahan, dan kurang tanggap terhadap isu-isu kritis/strategis yang menyangkut kemajuan sekolah. Mulai saat ini, organisasi sekolah harus dibuat lebih datar agar lebih responsif dan antisipatif, tidak saja terhadap isu-isu strategis/kritis yang dihadapi oleh sekolah, tetapi juga terhadap perubahan-perubahan sosial secara umum.


D. Model Manajemen Berbasis Sekolah
Dalam artian yang sesungguhnya, sebenarnya sulit memberikan contoh manajemen berbasis yang "uniformitas" dan "konformitas" sekaligus, karena dalam kenyataan juga tidak mudah menemukan sekolah yang karakteristik "kancah"nya atau "pacakan"nya sama. Model manajemen berbasis sekolah berikut merupakan model yang pada umumnya memiliki ciri-ciri universal, sehingga setiap sekolah yang akan mengadopsi model ini perlu mengadaptasikannya/menyesuaikannya dengan karakteristik kancah di sekolah masing-masing. Model manajemen berbasis sekolah berikut pada dasarnya ditampilkan menurut pendekatan sistem (berfikir sistem), yaitu output-proses-input. Urutan ini dipilih dengan alasan bahwa setiap kegiatan sekolah akan dilakukan, termasuk kegiatan melakukan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat), semestinya dimulai dari "output" yang akan dicapai, kemudian ke "proses", dan baru ke "input" yang dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Namun, langkah-langkah pemecahan persoalannya ditempuh dengan mengikuti urutan yang berlawanan dengan arah analisis SWOT.
Karena manajemen berbasis sekolah telah merupakan jiwa dan semangat sekolah, maka setiap penjelasan berikut telah menginklusifkan otonomi dan partisipasi ke dalamnya, meskipun tanpa menyebut istilah otonomi dan partisipasi. Artinya, setiap pembahasan butir-butir berikut selalu dijiwai oleh otonomi dan partisipasi dalam pengambilan keputusan sekolah. Secara ringkas, manajemen berbasis sekolah dapat diuraikan seperti berikut (Slamet 2000; Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2000).
Output sekolah diukur dengan kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah pencapaian/prestasi yang dihasilkan oleh proses/perilaku sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari efektivitasnya, kualitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, kualitas kehidupan kerjanya, dan moral kerjanya (lihat Gambar 3), dengan keterangan seperlunya seperti berikut.
Efektivitas adalah ukuran yang menyatakan sejauhmana sasaran (kuantitas, kualitas, waktu) telah dicapai. Dalam bentuk persamaan, efektivitas sama dengan hasil nyata dibagi hasil yang diharapkan.
Kualitas adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa, yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang ditentukan atau yang tersirat. Mutu barang atau jasa dipengaruhi oleh banyak tahapan kegiatan yang saling berhubungan seperti disain, operasi produk atau jasa dan pemeliharaannya.
Produktivitas adalah hasil perbandingan antara output dibagi input. Baik output maupun input adalah dalam bentuk kuantitas. Kuantitas input berupa tenaga kerja, modal, bahan, dan energi. Kuantitas output dapat berupa jumlah barang atau jasa, tergantung pada jenis pekerjaan.

Gambar 2
Model Ideal MBS




Efisiensi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu efisiensi internal dan efisiensi eksternal. Efisiensi internal menunjuk kepada hubungan antara output pendidikan (pencapaian belajar) dan input (sumberdaya) yang digunakan untuk memroses/menghasilkan output pendidikan (Coombs & Hallak, 1987). Efisiensi internal biasanya diukur dengan biaya-efektivitas. Setiap penilaian biaya-efektivitas selalu memerlukan dua hal, yaitu penilaian ekonomik untuk mengukur biaya masukan (input) dan penilaian hasil pembelajaran (prestasi belajar, lama belajar, angka putus sekolah). Sedang efisiensi eksternal adalah hubungan antara biaya yang digunakan untuk menghasilkan tamatan dan keuntungan kumulatif (individual, sosial, ekonomik, dan non-ekonomik) yang didapat setelah pada kurun waktu yang panjang diluar sekolah. Analisis biaya-manfaat merupakan alat utama untuk mengukur efisiensi eksternal.
Inovasi adalah proses yang kreatif dalam mengubah input, proses, dan output agar dapat sukses dalam menanggapi dan mengantisipasi perubahan-perubahan internal dan eksternal sekolah. Inovasi selalu memberikan nilai tambah terhadap input, proses, maupun output yang ada.
Kualitas kehidupan kerja adalah kinerja sekolah yang ditunjukkan oleh ukuran tentang bagaimana warga sekolah merasakan hal-hal seperti: pekerjaannya, kemanfaatannya, kondisi kerjanya, kesan dari anak buah terhadap bapak/ibu buah, kawan/kolega kerjanya, peluang untuk maju, pengembangan, kepastian, keselamatan dan keamanan, dan imbal jasanya.
Moral kerja adalah tingkat baik buruknya warga sekolah terhadap pekerjaannya yang ditunjukkan oleh etika kerjanya, kedisiplinannya, kejujurannya, kerajinannya, komitmennya, tanggungjawabnya, hubungan kerjanya, daya adaptasi dan antisipasinya, motivasi kerjanya, dan jiwa kewirausahaannya (bersikap dan berpikir mandiri, memiliki sikap berani mengambil resiko, tidak suka mencari kambing hitam, selalu berusaha menciptakan dan meningkatkan nilai sumberdaya, terbuka terhadap umpan balik, selalu ingin mencari perubahan yang lebih baik, tidak pernah merasa puas dan terus menerus melakukan inovasi dan improvisasi demi perbaikan selanjutnya, dan memiliki tanggungjawab moral yang baik).
Proses merupakan berubahnya "sesuatu" menjadi "sesuatu yang lain". Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut "input", sedang sesuatu dari hasil proses disebut output. Dalam pendidikan bersekala mikro (sekolah), proses yang dimaksud adalah: (a) proses pengambilan keputusan, (b) proses pengelolaan kelembagaan, (c) proses pengelolaan program, dan (d) proses belajar mengajar.
Proses pengambilan keputusan partisipatif merupakan salah satu "inti" manajemen berbasis sekolah. Esensi proses pengambilan keputusan partisipatif (Cangemi, 1985) adalah untuk mencari "wilayah kesamaan" antara kelompok-kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah (stakehorder) yaitu kepala sekolah, guru, siswa, orangtua siswa, dan pemerintah/yayasan). Wilayah kesamaan inilah yang menjadi modal dasar untuk menumbuhkan "rasa memiliki" bagi semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah dan ini dapat dilakukan secara efektif melalui pelibatan semua kelompok kepentingan dalam proses pengambilan keputusan. Pelibatan kelompok kepentingan dalam proses pengambilan keputusan harus mempertimbangkan keahlian, yuriiksi, dan relevansinya dengan tujuan pengambilan keputusan.
Menurut Cangemi (1985), paling tidak ada tiga pertanyaan yang harus dijawab oleh kepala sekolah sewaktu akan menerapkan pengambilan keputusan partisipatif:
(1) bagaimana cara menentukan, dalam setiap kasus, apakah cocok dan produktif jika pengambilan keputusan melibatkan kelompok-kelompok kepentingan?;
(2) kemudian, jika proses pengambilan keputusan perlu melibatkan kelompok-kelompok kepentingan, pertanyaan kedua adalah: bagian yang mana dari proses pengambilan keputusan yang perlu melibatkan kelompok-kelompok kepentingan?;
(3) pertanyaan ketiga adalah cara yang mana (apa) yang paling efektif untuk melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan?

Tentunya tidak semua wilayah (zona) pengambilan keputusan harus melibatkan semua kelompok kepentingan. Ada wilayah-wilayah yang memang merupakan hak prerogatif pimpinan untuk diputuskan secara sendirian dan bawahan harus menerimanya tanpa syarat. Kalaupun pimpinan melibatkan kelompok-kelompok kepentingan, maka hal ini harus dipikirkan secara mendalam dan terkontrol pelaksanaannya.
Ada empat petunjuk untuk mengidentifikasi pengambilan keputusan yang harus melibatkan para kelompok kepentingan, yaitu relevansi, kompetensi, yuridis, dan kompatibilitas tujuan. Pertama, adalah tingkat relevansinya. Sekiranya keputusan yang akan diambil relevan dengan kebutuhan kelompok kepentingan tertentu (kelompok yang bakal terkena dampak keputusan), maka pengambilan keputusan sebaiknya melibatkan kelompok kepentingan tersebut. Kedua, adalah uji keahlian. Artinya, kelompok kepentingan yang akan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, harus memiliki sesuatu untuk dikontribusikan. Mereka harus memiliki kompetensi untuk ikut serta dalam memecahkan persoalan-persoalan yang terkait dengan kepentingannya. Ketiga, uji yuriiksi. Sekolah didirikan untuk menjalankan fungsinya melalui struktur-herarkis. Karena itu, ada batas-batas yuriiksi yang memang tidak semua kelompok kepentingan harus terlibat dalam pengambilan keputusan. Pelibatan yang tidak proporsional secara yuriiksi akan cenderung membuat frustasi dan kemarahan yang tidak berdasar. Keempat, uji kompatibilitas tujuan. Apabila kompatibilitas tujuan dari semua kelompok kepentingan diinginkan, maka pelibatan mereka dalam proses pengambilan keputusan sangat diperlukan.
Disamping empat petunjuk pelibatan para kelompok kepentingan dalam pengambilan keputusan, ada delapan model yang dapat diadopsi oleh kepala sekolah berkaitan dengan pengambilan keputusan partisiptatif.

(1) Pemberitahuan
Di sini kepala sekolah mengambil keputusan secara sendirin. Dia tidak mencari informasi dan tidak mencari nasehat dari orang lain. Dia mempercayakan pada pengalamannya sendiri dan penelitiannya sendiri, dan semata-mata mengumumkan keputusannya. Gaya ini cocok untuk keputusan-keputusan yang terletak diluar zona kepedulian karyawan.
(2) Pengumpulan Informasi
Disini kepala sekolah menggunakan kelompok kepentingan tertentu hanya untuk tujuan pengumpulan informasi (penelitian masalah). Partisipan tidak diundang untuk datang bersama-sama dan bahkan tidak tahu siapa saja yang dimintai informasi. Melalui pembicaraan telpon atau laporan tertulis, kepala sekolah mencoba menarik kontribusi dari kelompok kepentingan tertentu agar supaya dapat mengambil keputusan oleh dirinya sendiri. Gaya semacam ini hanya berlaku secara terbatas untuk keputusan-keputusan marjinal diluar zona kepedulian karyawan.
(3) Pengumpulan Informasi dan Pembahasan
Di sini kepala sekolah berusaha mengumpulkan informasi dan memferifikasinya dengan mengundang secara bersama-sama para kelompok kepentingan yang dapat berkontribusi terhadap informasi awal yang telah dikumpulkan. Sewaktu informasi ini dicek-silang dan diklarifikasi, kolegialitas antar kelompok kepentingan tidak terlalu didorong/dimunculkan. Dari informasi cek-silang ini, kemudian Kepala Sekolah akan menggunakannya untuk masukan bagi pengambilan keputusan yang akan dilakukan oleh dirinya sendiri.
(4) Pengumpulan Pendapat dan Pembahasan
Di sini kepala sekolah meminta bawahannya untuk menginterpretasi informasi yang telah dibagi-bagikan kepada mereka. Dia memanfaatkan mereka untuk menjelaskan makna data-data yang telah dibagi-bagikan keseluruh kelompok. Pendapat-pendapat yang diusulkan mungkin beragam dan tidak bisa menghasilkan saran-saran umum terhadap Kepala Sekolah untuk memecahkan persoalan. Lagi-lagi, sepala sekolah mengambil keputusan oleh dirinya sendiri tetapi dalam hal ini dia telah mendorong pertukaran pendapat secara bebas sewaktu dilakukan cek-silang antar kelompok kepentingan. Kondisi ini cocok jika setiap kelompok kepentingan dapat dipercaya untuk bagi-bagi pendapat dan memiliki keahlian yang sesuai dengan keputusan yang akan diambil.
(5) Debat, Dialog, dan Proteksi Ekuitas/Kesamaan
Dalam model ini, kepala sekolah tidak hanya mendorong pertukaran pendapat secara bebas, tetapi juga untuk meyakinkan bahwa individu-individu yang menawarkan pendapat harus berdebat untuk mempertahankan pendapatnya. Melalui interaksi ini kemudian dilakukan penilaian terhadap pendapat-pendapat tersebut sehingga ditemukan pendapat yang relatif lebih baik. Karena semua pendapat harus dilontarkan, maka peran kepala sekolah adalah melindungi pendapat-pendapat dari kelompok minoritas dan memberhentikan mereka yang telah habis waktunya dalam curah/debat pendapat. Dalam peran ini, kepala sekolah tetap akan mengambil keputusan oleh dirinya sendiri, namun dia akan dipengaruhi secara signifikan oleh argumen-argumen yang disampaikan oleh para partisipan.
(6) Demokrasi
Model pengambilan keputusan semacam ini pada dasarnya menggunakan sistem "voting". Kepala sekolah menyerahkan sebagian besar wewenang pengambilan keputusannya, sehingga dia akan berpartisipasi dalam diskusi tersebut dan dia akan memberikan suaranya melalui "voting", dan oleh karena itu keputusan final akan ditentukan oleh suara mayoritas. Teknik ini cocok untuk pengambilan keputusan yang kontroversial, dimana konsensus sukar dicapai.
(7) Konsensus
Di sini kepala sekolah mendorong munculnya pendapat-pendapat yang beragam dan dia bertindak sebagai parlementarian untuk menjamin hak-hak yang sama dari semua peserta yang terlibat dalam diskusi. Segera setelah kelompok diskusi mengarah kepada kesepakatan, dia meringkasnya dan mengklarifikasi isu-isu tersebut. Dia memimpin diskusi, tetapi dia tidak menempatkan pendapatnya di atas peserta diskusi. Dia berusaha membawa kelompok diskusi kearah persetujuan terhadap alternatif terbaik, yaitu alternatif yang dapat diterima oleh kelompok secara keseluruhan. Ini tidak berarti bahwa setiap peserta akan puas secara total terhadap keputusan, akan tetapi paling tidak setiap peserta seyogyanya puas terhadap keputusan tersebut karena inilah keputusan terbaik yang dapat dicapainya.
(8) Delegasi
Dalam kondisi-kondisi tertentu, suatu keputusan tidak harus ditangani oleh kepala sekolah, karena keputusan tersebut tidak relevan baginya maupun bagi sekolahnya. Dia tidak memiliki keahlian untuk berkontribusi dan karena itu dia mendelegasikan keputusan kepada bawahannya (guru, konselor, BP3, dsb.). Dia tidak berpartisipasi. Dia tidak mengganggu hasil akhir keputusan, namun bisa saja dia merupakan salah seorang yang menunjukkan adanya permasalahan.


E. Proses Belajar Mengajar Sebagai Sistem
Sekolah, sebagai lembaga pendidikan, harus dikelola secara profesional agar menjadi "sekolah belajar" (learning school) yang mampu menjamin kelangsungan hidup dan perkembangannya. Menurut Bovin (1998), untuk menjadi sekolah belajar, maka sekolah harus:
1) memberdayakan sumber daya manusianya seoptimal mungkin,
2) memfasilitasi warga sekolahnya untuk belajar terus dan belajar kembali,
3) mendorong kemandirian (otonomi) setiap warganya,
4) memberikan tanggungjawab kepada warganya,
5) mendorong setiap warganya untuk "mempertanggungugatkan" (accountability) terhadap hasil kerjanya,
6) mendorong adanya teamwork yang kompak dan cerdas dan shared value bagi setiap warganya,
7) merespon dengan cepat terhadap pasar (pelanggan),
8) mengajak warganya untuk menjadikan sekolahnya customer focused,
9) mengajak warganya untuk nikmat/siap berhadap perubahan,
10) mendorong warganya untuk berfikir sistem, baik dalam cara berfikir, cara mengelola, maupun cara menganalisis sekolahnya,
11) mengajak warganya untuk komitmen terhadap "keunggulan kualitas",
12) mengajak warganya untuk melakukan perbaikan secara terus-menerus, dan
13) melibatkan warganya secara total dalam penyelenggaraan sekolah
Pengelolaan program merupakan pengkoordinasian dan penyerasian program sekolah, yang meliputi: (1) perencanaan, pengembangan, dan evaluasi program sekolah, (b) pengembangan kurikulum, (c) pengembangan proses belajar mengajar, (d) pengelolaan sumberdaya manusia (guru, karyawan, konselor, dsb.), (e) pelayanan siswa, (f) pengelolaan fasilitas, (g) pengelolaan keuangan, (h) perbaikan program, dan (i) pembinaan hubungan antara sekolah dan masyarakat.
Sedang proses belajar mengajar merupakan pemberdayaan pelajar yang dilakukan melalui interaksi perilaku pengajar dan perilaku pelajar, baik di ruang maupun di luar kelas. Karena proses belajar mengajar merupakan pemberdayaan pelajar, maka penekanannya bukan sekadar penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan (logos), tetapi merupakan internalisasi tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani dan dihayati serta dipraktekkan oleh pelajar (etos).
Selain itu, proses belajar mengajar semestinya lebih mementingkan proses pencarian jawaban dari pada memiliki jawaban. Karena itu, proses belajar mengajar yang lebih mementingkan jawaban baku yang dianggap benar oleh pengajar adalah kurang efektif. Proses belajar mengajar yang efektif semestinya menumbuhkan daya kreasi, daya nalar, rasa keingintahuan, dan eksperimentasi-eksperimentasi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru (meskipun hasilnya keliru), memberikan keterbukaan terhadap kemungkinan-kemungkinan baru, menumbuhkan demokrasi, dan memberikan toleransi pada kekeliruan-kekeliruan akibat kreativitas berfikir.
Secara ringkas, proses belajar mengajar (sebagai sistem) dapat dilukiskan seperti pada Gambar berikut :
Gambar 3
Proses Belajar Mengajar Sebagai Sistem


F. Strategi Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah
Pada dasarnya, mengubah pendekatan manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah bukanlah merupakan one-shot and quick-fix, akan tetapi merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan melibatkan semua unsur yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan persekolahan. Oleh karena itu, strategi utama yang perlu ditempuh dalam melaksanakan manajemen berbasis sekolah adalah sebagai berikut (Slamet PH, 2000; Direktorat Dikmenum, 2000).
1. Mensosialiasikan konsep manajemen berbasis sekolah keseluruh warga sekolah, yaitu guru,siswa, wakil-wakil kepala sekolah, konselor, karyawan dan unsur-unsur terkait lainnya (orangtua murid, pengawas, wakil kandep, wakil kanwil, dsb.) melalui seminar, diskusi, forum ilmiah, dan media masa. Hendaknya dalam sosialisasi ini juga dibaca dan dipahami sistem, budaya, dan sumber daya sekolah yang ada secermat-cermatnya dan direfleksikan kecocokannya dengan sistem, budaya, dan sumber daya yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan manajemen berbasis sekolah.
2. Melakukan analisis situasi sekolah dan luar sekolah yang hasilnya berupa tantangan nyata yang harus dihadapi oleh sekolah dalam rangka mengubah manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah. Tantangan adalah selisih (ketidaksesuaian) antara keadaan sekarang (manajemen berbasis pusat) dan keadaan yang diharapkan (manajemen berbasis sekolah). Karena itu, besar kecilnya ketidaksesuaian antara keadaan sekarang (kenyataan) dan keadaan yang diharapkan (idealnya) memberitahukan besar kecilnya tantangan (loncatan).
3. Merumuskan tujuan situasional yang akan dicapai dari pelaksanaan manajemen berbasis sekolah berdasarkan tantangan nyata yang dihadapi (butir 2). Segera setelah tujuan situasional ditetapkan, kriteria kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya ditetapkan. Kriteria inilah yang akan digunakan sebagai standar atau kriteria untuk mengukur tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya.
4. Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Untuk mencapai tujuan situasional yang telah ditetapkan, maka perlu diidentifikasi fungsi-fungsi mana yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Fungsi-fungsi yang dimaksud meliputi antara lain: pengembangan kurikulum, pengembangan tenaga kependidikan dan nonkependidikan, pengembangan siswa, pengembangan iklim akademik sekolah, pengembangan hubungan sekolah-masyarakat, pengembangan fasilitas, dan fungsi-fungsi lain.
5. Menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui analisis SWOT (Strength, Weaknes, Opportunity, and Threat). Analisis SWOT dilakukan dengan maksud mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi yang diperlukan untuk mencapai tujuan situasional yang telah ditetapkan. Berhubung tingkat kesiapan fungsi ditentukan oleh tingkat kesiapan masing-masing faktor yang terlibat pada setiap fungsi, maka analisis SWOT dilakukan terhadap keseluruhan faktor dalam setiap fungsi, baik faktor yang tergolong internal maupun eksternal. Tingkat kesiapan harus memadai, artinya, minimal memenuhi ukuran kesiapan yang diperlukan untuk mencapai tujuan situasional, yang dinyatakan sebagai: kekuatan, bagi faktor yang tergolong internal; peluang, bagi faktor yang tergolong faktor eksternal. Sedang tingkat kesiapan yang kurang memadai, artinya tidak memenuhi ukuran kesiapan, dinyatakan bermakna: kelemahan, bagi faktor yang tergolong faktor internal; dan ancaman, bagi faktor yang tergolong faktor eksternal.
6. Memilih langkah-langkah pemecahan (peniadaan) persoalan, yakni tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap. Selama masih ada persoalan, yang sama artinya dengan ada ketidaksiapan fungsi, maka tujuan situasional yang telah ditetapkan tidak akan tercapai. Oleh karena itu, agar tujuan situasional tercapai, perlu dilakukan tindakan-tindakan yang mengubah ketidaksiapan menjadi kesiapan fungsi. Tindakan yang dimaksud lazimnya disebut langkah-langkah pemecahan persoalan, yang hakekatnya merupakan tindakan mengatasi makna kelemahan dan/atau ancaman, agar menjadi kekuatan dan/atau peluang, yakni dengan memanfaatkan adanya satu/lebih faktor yang bermakna kekuatan dan/atau peluang.
7. Berdasarkan langkah-langkah pemecahan persoalan tersebut, sekolah bersama-sama dengan semua unsur-unsurnya membuat rencana untuk jangka pendek, menengah, dan panjang, beserta program-programnya untuk merealisasikan rencana tersebut. Sekolah tidak selalu memiliki sumber daya yang cukup untuk melaksanakan manajemen berbasis sekolah idealnya, sehingga perlu dibuat sekala prioritas untuk rencana jangka pendek, menengah, dan panjang.
8. Melaksanakan program-program untuk merealisasikan rencana jangka pendek manajemen berbasis sekolah. Dalam pelaksanaan, semua input yang diperlukan untuk berlangsungnya proses (pelaksanaan) manajemen berbasis sekolah harus siap. Jika input tidak siap/tidak memadai, maka tujuan situasional tidak akan tercapai. Yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan adalah pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program, dan pengelolaan proses belajar mengajar.
Pemantauan terhadap proses dan evaluasi terhadap hasil manajemen berbasis sekolah perlu dilakukan. Hasil pantauan proses dapat digunakan sebagai umpan balik bagi perbaikan penyelenggaraan dan hasil evaluasi dapat digunakan untuk mengukur tingkat ketercapaian tujuan situasional yang telah dirumuskan. Demikian kegiatan ini dilakukan secara terus-menerus, sehingga proses dan hasil manajemen berbasis sekolah dapat dioptimalkan.

G. Pengertian Motivasi
Motivasi adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan. Motivasi yang ada pada seseorang akan mewujudkan suatu perilaku yang diarahkan pada tujuan mencapai tujuan sasaran kepuasan. Jadi, motivasi bukanlah yang dapat diamati, tetapi adalah hal yang dapat disimpulkan adanya karena sesuatu perilaku yang tampak.
Motivasi merupakan suatu masalah kompleks dalam organisasi, karena kebutuhan dan keinginan dari setiap anggota organisasi berbeda. Hal ini berbeda karena setiap angota suatu organisasi adalah “unik” secara biologis maupun psikologis dan berkembang atas dasar proses belajar yang berbeda pula. Manajer organisasi perusahaan penting sekali mengetahui apa yang menjadi motivasi para karyawan atau bawahannya, sebab faktor ini akan menentukan jalannya organisasi dalam pencapaian tujuan.
Motivasi merupakan salah satu faktor yang ikut mendorong manusia dalam aktifitas termasuk dalam melakukan pekerjaan. Motivasi menurut Keith (1992:106) berasal dari bahasa latin, yaitu mover yang artinya menggerakkan (to move), sedangkan menurut Kamus Bahasa Indonesia (Braatmadja, 1994:184) motivasi diartikan sebagai dorongan (dari dalam) untuk berbuat sesuatu.
Sementara Moenir (1988:2136) menyatakan bahwa motivasi adalah rangsangan dari luar dalam bentuk benda atau bukan benda yang dapat menunbuhkan dorongan pada orang untuk memiliki, menikmati, menguasai atau mencapai benda atau bukan benda tersebut.
Zainun (1979:62) mengatakan bahwa motivasi dapat dilihat sebagai bagian yang fundamental dari kegiatan manajemen, sehingga sesuatunya dapat ditinjau kepada pengarahan potensi dan daya manusia dengan jalan menghidupkan dan menumbuhkan tingkat keinginan yang tinggi, kebersamaan dalam menjalankan tugas perseorangan maupun kelompok dalam organisasi.
Selanjutnya Zainun menegaskan (1979:19) bahwa konsep lain yang bertalian dengan motivasi adalah konep yang biasanya dikemukakan dengan islitilah “needs” atau kebutuhan dan istilah “incentive” atau perangsang. Hubungan kedua istilah ini sebanding dengan hubungan konsep tujuan dan alat untuk mencapai tujuan itu (ends and means concept) perangsang atau insentif ini dapat dipandang sebagai alat untuk memenuhi atau memuaskan kebutuhan.
Maslow, seorang psikolog, telah menggambarkan suatu teori motivasi manusia yang sangat terkenal pada tahun 1943. Dalam Wahjosumidjo (1987:184) Maslow mengemukakan bahwa :
“Manusia itu memiliki dasar hidup yang menggerakkan dia untuk memenuhi kebutuhannya. Berbagai kebutuhan itu antara lain :
1. Kebutuhan fisik atau juga disebut sebagai kebutuhan primer atau kebutuhan biologis, misalnya udara, makan, air, seks, keagamaan, istirahat dan latihan;
2. Kebutuhan rasa aman, yaitu perlindungan dari bahaya dan ancaman bencana, penyakit, perang, kemiskinan, kelaparan, sakit, kondisi kerja, perlakuan yang adil dan menghadapi pensiun;
3. Kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan untuk disenangi dan diperhitungkan sebagai satu pribadi, rasa setia kawan, kelompok dan kemungkinan kerja sama;
4. Kebutuhan akan penghargaan prestasi;
5. Kebutuhan mempertinggi aktualisasi diri, misalnya untuk berprestasi di tempat kerja dan kepastian kerja
Konsep teorinya menjelaskan adanya hierarki kebutuhan (hierarchy of needs) yang menunjukkan adanya lima tingkatan kebutuhan manusia. Dimana, kebutuhan yang lebih tinggi akan mendorong seseorang untuk mendapatkan kepuasan akan kebutuhan tersebut, setelah kebutuhan yang lebih rendah (sebelumnya) telah dipuaskan.
Gambar berikut menunjukkan hierarkhi lima kebutuhan dasar manusia menurut Maslow :








Gambar 2.5
Hirarki Kebutuhan menurut Maslow

Menurut Maslow, kebutuhan utama manusia berada tingkat pertama, yaitu fisiologis. Setelah kebutuhan pertama ini terpenuhi atau terpuakan, barulah menginjak pada kebuthan kedua (istilah tinggi, yaitu kebutuhan akan keamanan). Kebutuhan ketiga baru dilaksanakan setelah kebutuhan kedua terpenuhi. Proses ini berjalan terus sampai akhirnya terpenuhi kebutuhan kelima (aktualisasi diri).
Sedangkan konsep penting lainnya dari teori motivasi yang didasarkan pada kekuatan yang ada di dalam diri manusia adala motivasi prestasi (achievement motivation). David McClelland, melalui riset empiris, telah menemukan bahwa para usahawan, scientist dan professional mempunyai tingkat motivasi prestasi di atas rata-rata. Menurutnya, seseorang dianggap mempunyai motiasi prestasi yang tinggi, apabila dia mempunyai keinginan untuk berprestasi lebih baik daripada yang lain dalam banyak situasi. McClleland memusatkan perhatiannya pada tiga kebutuhan manusia, yaitu : prestasi (needs for achievement), afiliasi (need fo affiliation) dan kekuasaan (need for power), karena ketiga kebutuhan ini telah terbukti merupakan unsur-unsur penting yang ikut menentukan prestasi hidup.
Karakteristik ketiga kebutuhan penting tersebut dapat pada uaraian berikut :
a. Kebutuhan prestasi : tercermin keinginan dia mengambil tugas yang dia dapat bertanggung jawab secara pribadi atas perbuatan-perbuatannya, dia menentukan tujuan yang wajar dengan memperhitungkan resiko-resikonya, dia ingin mendapatkan uman balik atas perbuatan-perbuatannya dan dia berusaha melakukan segala sesuatu secara kreatif dan inovatif.
b. Kebutuhan afilisasi : kebutuhan ini didasari adanya keinginan untuk bersahabat, dimana dia lebih mementingkan aspek-aspek anta pribadi dari pekerjaannya, dia lebih senang bekerja sama, senang bergaul, dia berusaha mendapatkan persetujuan dari orang lain, dan dia akan melaksanakan tugas-tugasnya secara lebih efektif bila bekerja dengan orang lain dalam suasana kerja sama. Tetapi jika seorang atasan minta bantuan bawahan, ini bukan tergolong motivasi afilisasi, tetapi tergolong motivasi kekuasaan.
c. Kebutuhan kekuasaan : kebutuhan ini tercermin pada seseorang yang ingin mempunyai pengaruh atas orang-orang lain. Dia peka terhadap struktur pengaruh antar pribadi dari suatu kelompok atau oraganisasi, dan memasuki organisasi-organisasi yang mempunyai prestasi, dia aktif menjalankan “policy” sesuatu organisasi dimana dia menjadi anggota. Dia mencoba membantu orang lain walaupun tidak diminta, dia mencoba menguasai orang lain dengan mengatur perilakunya dan membuat orang lain terkesan padanya, serta selalu menjadikan reputasi dan kedudukannya sebagai sandaran.
Teori dari McClleland ini sangat penting dalam mempelajari motivasi, karena motif berprestasi dapat diajarkan untuk mencapai sukses elompok atau organisasi. Penelitian McClelland menunjukkan bahwa prestasi dapat diperoleh melalui latihan dengan mengajarkan seseorang untuk berpikir dan berbuat dengan motivasi.
Teori motivasi eksternal tidak mengabaikan teori motivasi internal, tetapi justru dikembangkan di atasnya. Motivasi eksternal sebenarnya dibangun di atas motivasi internal, dan dalam organisasi sangat tergantung dari anggapan-anggapan dan teknik-teknik yang dicapai oleh pimpinan organisasi atau para manajer dalam memotivasi bawahannya.
Teori motivasi eksternal menjelaskan kekuatan-kekuatan yang ada di dalam individu yang dipengaruhi faktor-faktor intern yang dikendalikan oleh manajer, yaitu meliputi suasana kerja seperti gaji, penghargaan, kenaikan, pangkat dan tanggung jawab.
Manajer perlu mengenal motivasi eksternal untuk mendapatkan tanggapan yang positif dari karyawannya. Tanggapan yang positif ini menunjukkan bahwa bawahan-bawahannya sedang bekerja demi kemajuan organisasi. Seorang manajer dapat mempergunakan motivasi eksternal yang positif ataupun negatif. Motivasi positif memberikan penghargaan pada pelaksnaan kerja yang baik. Motivasi negatif memberlakukan hukuman bila pelaksanaan kerja jelek. Keduanya dapat dipakai oleh manajer. Teori Mc Gregor dan Herzberg berikut ini akan membantu menjelaskan motivasi eksternal.
Teori motivasi selanjutnya dikemukan oleh Herzberg dan kelompoknya, suatu tim dari (Motivation – Hygiene Theory) atau sering disingkat teori M – H atau teori dua faktor. Ini adalah teori motivasi eksternal mengenai bagaimana manajer dapat mengendalikan faktor-faktor yang memproduksi kepuasan kerja (job satisfaction) atau ketidakpuasan kerja (job dissastis faction).
Berdasarkan hasil penelitiannya, telah dikemukakan dua kelompok faktor-faktor yang mempengaruhi kerja seseorang dalam organisasi, yaitu “motivasi” atau “pemuas” (satisfiers) dan “faktor higienis” (dissatisgiers). Disebutkan bahwa motivasi yang sesungguhnya sebagai faktor-faktor sumber kepuasan kerja adalah prestasi, promosi atau kenaikan pangkat, penghargaan, pekerjaan itu sendiri, dan tanggung jawab. Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya tugas yang lebih menantang, lebih banyak tuntutan kesempatan untuk menjadi lebih ahli dan mengembangkan kemampuan ini akan menimbulkan kepuasam kerja, tetapi tidak adanya faktor-faktor ini tidaklah selalu mengakibatkan ketidakpuasan kerja.

H. Hakekat Mutu Lulusan
Mutu lulusan tidaklah lepas dari prestasi belajar para lulusan. Prestasi belajar terdiri atas dua kata prestasi dan belajar. Makna prestasi menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti: hasil yang telah dicapai dari yang telah dilakukan. Dengan demikian prestasi belajar berarti hasil yang telah dicapai dari proses belajar. Sedangkan pengertian belajar banyak dikemukakan para ahli antara lain belajar adalah proses yang aktif untuk membangun pengetahuan dan keterampilan siswa. “Learning is the process by which an activity originates or is changed through training procedures as distinguished from change by factors not atributable to training”.
Belajar adalah sesuatu perubahan tingkah laku melalui latihan dan dibedakan dengan perubahan yang disebabkan oleh faktor-faktor yang tidak dapat digolongkan kepada latihan itu sendiri. “Learning is defined as the modification ar strengthening of behavior through experiencing”. Belajar merupakan suatu proses atau kegiatan belajar bukan hanya mengingat, tetapi belajar merupakan suatu modifikasi atau memperteguh sikap melalui pengalaman. Jadi perubahan tingkah laku individu didapatkan sebagai hasil dari interaksinya dengan lingkungannya.
Sedangkan Soemadi Suryabrata dalam The Liang Gie (1984:6) berpendapat, belajar adalah segenap rangkaian kegiatan yang dilakukan secara sadar oleh seseorang dan mengakibatkan perubahan dalam dirinya berupa penambahan pengetahuan atau kemahiran yang sifatnya sedikit banyak permanen. Belajar dapat pula diartikan sebagai kegiatan yang menghasilkan perubahan tingkah laku pada diri individu yang sedang belajar, baik potensial maupun aktual.
Dari beberapa pengertian belajar tersebut pada intinya belajar memiliki hal–hal pokok sebagai berikut (a) belajar membawa perubahan perilaku (behavior change) aktual maupun pontensial (b) Bahwa perubahan itu pada pokoknya didapatkan dengan kecakapan baru atau peningkatan kecakapan. (c) Bahwa perubahan itu terjadi karena siswa aktif melakukan kegiatan/aktivitas untuk membangun sendiri pengetahuannya.
Dari uraian dimuka dapat disimpulkan prestasi belajar adalah hasil yang dicapai seorang siswa berupa perubahan/penambahan dan peningkatan kualitas perilaku dari ranah kognitif, afektif dan psikomotor yang dicapai melalui aktivitas siswa dalam proses belajar. Keberhasilan belajar dipengaruhi oleh faktor dari dalam dan luar diri siswa. Manusia sejak dari bayi sampai dewasa mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan dan perkembangan seorang anak tersebut disebabkan oleh pembawaan atau genetis, tetapi ia juga berubah karena belajar, sebagai akibat pengaruh lingkungan.
Berkaitan dengan masalah hasil belajar, berbagai penelitian telah banyak diupayakan untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Antara lain oleh Bobbi De Porter dengan sekolah khusus yang disebut Super Camp. Usaha tersebut berhasil meningkatkan indeks prestasi dari 1,8 menjadi 4. Di dalam Super Camp siswa mendapat lingkungan belajar yang menyenangkan, suasana aman, penuh kepercayaan antara siswa dengan instruktur, dan siswa diberikan keterampilan bagaimana cara belajar (Bobbi De Porter dan Mike Hernacki, 2000:6). Pengalaman-pengalaman pengembangan proses belajar di sekolah-sekolah tersebut, memberikan indikator tentang pengaruh dari luar siswa sangat menentukan keberhasilan siswa dalam belajar. Semakin seseorang berinteraksi dengan lingkungan, semakin mahir manusia mengatasi situasi-situasi yang menantang dan semakin mudah manusia mempelajari informasi baru (Bobbi De Porter; 2001:81).
Kategori hasil belajar, terbagi menjadi 5 (lima) yaitu:
Pertama, keterampilan intelektual (intellectual skills). Belajar keterampilan intelektual berarti belajar bagaimana melakukan sesuatu secara intelektual. Ada enam jenis keterampilan intelektual:
1. diskriminasi-diskriminasi, yaitu kemampuan membuat respons yang berbeda terhadap stimulus yang berbeda pula;
2. konsep-konsep kongkret, yaitu kemampuan mengidentifikasi ciri-ciri atau atribut-atribut suatu objek;
3. konsep-konsep terdefinisi, yaitu kemampuan memberikan makna terhadap sekelompok objek-objek, kejadian-kejadian, atau hubungan-hubungan;
4. aturan-aturan, yaitu kemampuan merespons hubungan-hubungan antara objek-objek dan kejadian-kejadian;
5. aturan tingkat tinggi, yaitu kemampuan merespons hubungan-hubungan antara objek-objek dan kejadian-kejadian secara lebih kompleks.
6. memecahkan masalah, yaitu kemampuan memecahkan masalah yang biasanya melibatkan aturan-aturan tingkat tinggi.
Kedua, strategi-strategi kognitif (cognitive strategies). Strategi-strategi ini merupakan kemampuan yang mengarahkan perilaku belajar, mengingat, dan berpikir seseorang. Ada lima jenis strategi-strategi kognitif:
1. strategi-strategi menghafal, yaitu strategi belajar yang dilakukan dengan cara menghafal ide-ide dari sebuah teks;
2. strategi-strategi elaborasi, yaitu strategi belajar dengan cara mengaitkan materi yang dipelajari dengan materi lain yang relevan;
3. strategi-strategi pengaturan, yaitu strategi belajar yang dilakukan dengan cara mengelompokkan konsep-konsep agar menjadi kategori-kategori yang bermakna;
4. strategi-strategi pemantauan pemahaman, yaitu strategi belajar yang dilakukan dengan cara memantau proses-proses belajar yang sedang dilakukan;
5. strategi-strategi afektif, yaitu strategi belajar yang dilakukan dengan cara memusatkan dan mempertahankan perhatian.
Ketiga, informasi verbal (verbal information). Belajar informasi verbal adalah belajar untuk mengetahui apa yang dipelajari baik yang berbentuk nama-nama objek, fakta-fakta, maupun pengetahuan yang telah disusun dengan baik.
Keempat, keterampilan motor (motor skills). Kemahiran ini merupakan kemampuan siswa untuk melakukan sesuatu dengan menggunakan mekanisme otot yang dimiliki.
Kelima, sikap (attitudes). Sikap merupakan kemampuan mereaksi secara positif atau negatif terhadap orang, sesuatu, dan situasi.
Sementara itum Tiga aspek hasil belajar yakni kognitif, afektif, dan psikomotor. Aspek kognitif berkaitan dengan prilaku berpikir, mengetahui, dan memecahkan masalah.
Ada enam tingkatan aspek kognitif yang bergerak dari yang sederhana sampai yang kompleks:
1. pengetahuan (knowledge), yaitu kemampuan mengingat materi pelajaran yang sudah dipelajari sebelumnya;
2. pemahaman (comprehension, understanding), seperti menafsirkan, menjelaskan, atau meringkas;
3. penerapan (application), yaitu kemampuan menafsirkan atau menggunakan materi pelajaran yang sudah dipelajari ke dalam situasi baru atau kongkret;
4. analisis (analysis), yaitu kemampuan menguraikan atau menjabarkan sesuatu ke dalam komponen-komponen atau bagian-bagian sehingga susunannya dapat dimengerti;
5. sintesis (synthesis), yaitu kemampuan menghimpun bagian-bagian ke dalam suatu keseluruhan;
6. evaluasi (evaluation), yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan untuk membuat penilaian terhadap sesuatu berdasarkan kriteria tertentu.
Aspek afektif berkaitan dengan sikap, nilai-nilai, interes, apresiasi, dan penyesuaian perasaan sosial. Aspek ini mempunyai lima tingkatan dari yang sederhana ke yang kompleks:
1. penerimaan (receiving), merupakan kepekaan menerima rangsangan (stimulus) baik berupa situasi maupun gejala;
2. penanggapan (responding), berkaitan dengan reaksi yang diberikan seseorang terhadap stimulus yang datang;
3. penilaian (valuing), berkaitan dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejala atau stimulus yang datang;
4. organisasi (organization), yaitu penerimaan terhadap berbagai nilai yang berbeda berdasarkan suatu sistem nilai tertentu yang lebih tinggi;
5. karakteristik nilai (characterization by a value complex), merupakan keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki sesorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya.
Aspek psikomotor berkaitan dengan keterampilan yang bersifat manual dan motorik. Aspek ini meliputi:
1. persepsi (perception), berkaitan dengan penggunaan indra dalam melakukan kegiatan;
2. kesiapan melakukan pekerjaan (set), berkaitan dengan kesiapan melakukan suatu kegiatan baik secara mental, fisik, maupun emosional;
3. mekanisme (mechanism), berkaitan dengan penampilan respons yang sudah dipelajari;
4. respons terbimbing (guided respons), yaitu mengikuti atau mengulangi perbuatan yang diperintahkan oleh orang lain;
5. kemahiran (complex overt respons), berkaitan dengan gerakan motorik yang terampil;
6. adaptasi (adaptation), berkaitan dengan keterampilan yang sudah berkembang di dalam diri individu sehingga yang bersangkutan mampu memodifikasi pola gerakannya;
7. keaslian (origination), merupakan kemampuan menciptakan pola gerakan baru sesuai dengan situasi yang dihadapi.
Prestasi belajar siswa bukan semata-mata karena faktor kecerdasan (intelegensia) siswa saja, tetapi ada faktor lain yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa tersebut, secara garis besar faktor-faktor tersebut dibagi menjadi dua yakni faktor intern dan faktor ekstern. Faktor-faktor yang dimaksud adalah seperti sebagai berikut:
1. Faktor interen, yaitu faktor yang terdapat dalam diri individu itu sendiri, antara lain ialah kemampuan yang dimilikinya, minat dan motivasi serta faktor-faktor lainnya, yang meliputi :
a. Faktor-faktor psikis intelektual, yang meliputi taraf intelegensi, meliputi motivasi belajar, sikap perasaan, minat, kondisi akibat keadaan sosio kultural atau ekonomis.
b. Faktor-faktor fisik yang meliputi keadaan fisik.
2. Faktor ekstern, yaitu faktor yang berada di luar individu di antaranya lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar adalah, yang meliputi :
a. Faktor-faktor pengatur proses belajar di sekolah, yang meliputi kurikulum pengajaran, disiplin sekolah, teacher efectiveness, fasilitas belajar dan pengelompokkan siswa.
b. Faktor-faktor sosial di sekolah yang meliputi sistem sosial, status sosial, dan interaksi guru dan siswa.
c. Faktor situasional, yang meliputi keadaan politik ekonomis, keadaan waktu dan tempat serta musim iklim.
d. Bakat
e. Minat
f. Emosi
g. Kepribadian
h. Gangguan kejiwaan atau gangguan kepribadian lainnya.


I. Kesimpulan
Faktor Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Faktor Motivasi Guru mempunyai pengaruh yang positif terhadap Peningkatan Mutu Lulusan , maka perlu upaya-upaya yang nyata dalam mempertahankan aspek Manajemen Berbasis Sekolah dan Motivasi Guru yang sekarang ini dilakukan.
Berdasarkan pada hal-hal di atas, saran-saran yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut :
1. Manajemen Berbasis Sekolah sangat perlu ditingkatkan. Peningkatan Manajemen Berbasis Sekolah ini dapat dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor sumber daya dan input manajemen.
2. Pengaruh positif Motivasi Guru terhadap Peningkatan Mutu Lulusan perlu ditingkatkan, dapat dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor dorongan internal dan dorongan eksternal.











DAFTAR PUSTAKA

Hadayaningrat, Soemarno, 1985, Administrasi dan Manajemen, Jakarta, Gunung Agung
Handoko T. Hani, Manajemen Sumber Daya Manusia, BPFE, Yogyakarta, 1997
Hasibuan, Malayu S.P. Manajemen Sumber Daya Manusia dan Kunci Keberhasilan, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1994
Kartono, Kartini, 1990, Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta : Rajawali
Pearce, John A & Robinson, Richard, 1997, Manajemen Strategic, Jakarta, Binarupa Aksara
Siagian, Sondang P., 1997, Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara Jakarta
Soerono, Igantius, 1997. Disiplin, Motivasi, dan Semangat Kerja, Bina Ilmu, Surabaya.
Suradinata, Ermaya, 1997. Pemimpin dan Kepemimpinan Pemerintahan, Pendekatan Budaya, Modal dan Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Thoha, Miftah, 1995, Kepemimpinan Dalam Manajemen, Rajawali Grafindo Persada, Jakarta
Wahjosumidjo, 1994, Kepemimpinan dan Motivasi, Ghalia Indonesia
Werther, William B. & Keith Davis, 1993, Human Resources and Personnel Management. New York : Mc Graw-Hill
Zainun, Buchari, 1979. Manajemen dan Motivasi, Jakarta : Bina Aksara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar